Tentang ingin fokus belajar apa

Arief Hutahaean
5 min readOct 24, 2021

Photo by Hello I'm Nik on Unsplash

Salah satu masalah klasik waktu jadi mahasiswa fakultas hukum adalah menentukan akan fokus belajar apa. Well, dari waktu ke waktu, pertanyaan ini tetap saja ada.

Food for thought.

The why. Coba kita tanyakan lagi: mengapa tuan dan puan perlu menentukan fokus dalam belajar di kampus? Mungkin jawaban yang paling mengena adalah supaya nanti bisa menaikkan kans diterima kerja lebih cepat. Masuk akal. Makin banyak atau dalam pengetahuan, makin berkualitas tampaknya seorang kandidat.

But, let’s really think about it. Kebanyakan tes-tes masuk ke tempat kerja, law firm atau perusahaan, akan fokus untuk mengetahui apakah para kandidat memiliki pengetahuan dasar yang mumpuni. Hal-hal dasar. Seperti prinsip kebebasan berkontrak, tanggung jawab direksi dan komisaris, cara melakukan akuisisi, akibat wanprestasi, cara pemasangan jaminan kebendaan dan perorangan, cara mengajukan tuntutan, atau cara melakukan uji tuntas.

Kalau dipikir lagi, topik-topik di atas sudah ada di mata-mata kuliah semester awal. Pengantar hukum Indonesia, hukum perjanjian, huku perusahaan, hukum kebendaan, hukum jaminan, hukum acara pidana, hukum acara perdata, dan hukum pasar modal. Bukankah dengan demikian, sudah ada solusinya? Ambil saja mata-mata kuliah di atas.

Realita: mengambil mata kuliah itu tak cukup. Jujur saja, belum tentu tuan dan puan dapat nilai A di semua mata kuliah itu. Belum tentu pula masih ingat isi dari mata kuliahnya enam bulan setelah itu. Mudah kalau begitu. Nanti ketika sudah mau lulus atau baru lulus, gw bisa baca lagi materi-materi kuliah gw. Dengan begitu, gw bisa meningkatkan kans gw untuk menjawab tes-tes masuk dunia kerja. Begitu bukan? Tunggu dulu, it’s not that easy.

Belajar tanpa ada insentif itu susah. Maksudnya begini. Kenapa tuan dan puan niat belajar sekarang? Kemungkinan besar supaya lulus mata kuliahnya. Kenapa harus lulus mata kuliahnya? Karena sudah bayar uang kuliah, tidak mau mengulang mata kuliah atau tidak mau mengecewakan orang tua. Insentifnya adalah supaya terhindar dari akibat buruk, dan akibatnya lumayan konkret. Maksudnya: kalau tidak lulus mata kuliah, bisa terlambat lulus, harus bayar uang kuliah satu semester. Ada uang keluar. Dimarahi atau bertengkar dengan orang tua. Ada rasa takut dan perasaan tidak enak. Mengulang mata kuliah yang sama, ada rasa malu. Tuan dan puan tau betapa tidak enaknya semua akibat itu. Konkret.

Coba sekarang belajar tanpa ada insentif begitu. Dorongannya tak lain adalah supaya lebih menguasai bidang hukumnya. Insentifnya adalah supaya ada pengembangan diri. Most likely akan sulit. Sudah keburu malas. Kalaupun bisa, mungkin tidak tahan lama. Begitulah situasi kalau mulai belajar lagi ketika sudah mendekati wisuda atau setelah wisuda. Tidak ada insentif yang konkret.

Di sisi lain, pasti ada pikiran bahwa proses belajar lagi ini akan mudah. Bagaimana tidak? Dulu kan sudah pernah dipelajari. Apa susahnya mengulang. Well, konteksnya saat ini berbeda. Situasinya sekarang adalah ajang pencarian kerja. Tuan dan puan tak bisa menebak apa yang akan ditanyakan oleh perusahaan. Tak tau pula setinggi apa ekspektasinya perusahaan. Tak tau pula orang lain punya pengetahuan seperti tuan dan puan atau tidak. Tanpa sadar, tiba-tiba sudah hari H untuk tes. Panik dan merasa tidak maksimal ketika menjawab pertanyaan tes tertulis.

By then it’s too late. Kalau begitu pertanyaannya adalah bagaimana caranya untuk tetap bisa menguasai hal-hal dasar tadi sampai lulus? Alah bisa karena biasa. Practice makes perfect. Sekarang kita bicara tentang penerapan ilmu. Bagaimana cara menerapkan ilmu? Berpraktik. Gunakan dan ikuti kompetisi yang bisa membuat tuan dan puan harus menerapkan pengetahuan yang sudah didapatkan dalam sebuah permasalahan.

Apakah ada jalan lain? Ada. Latihan sendiri membuat soal dan menjawab soal. Tapi kembali lagi, problem tak adanya insentif yang real itu akan kembali. Dengan berkompetisi, tuan dan puan akan dipaksa untuk berpikir lebih kritis dan kompetitor untuk menang. Proses berpikir kritis ini akan membuat seseorang kembali kepada hal-hal dasar dalam menyikapi sebuah persoalan hukum. Hal-hal dasar seperti: apakah ini isu hukum kontrak atau isu hukum perseroan? Apakah ini sesuai dengan prinsip hukum kontrak atau tidak? Apakah solusinya bisa berbeda kalau dilihat dari perspektif lain?

Menanyakan hal-hal tersebut adalah sebuah langkah awal untuk menajamkan pengetahuan tuan dan puan. Otak pun akan terbiasa untuk menangani isu yang perkaitan dengan prinsip dasar tadi. Dari waktu ke waktu, pengetahuan tersebut akan lengket di pikiran tuan dan puan. Ketika diuji, tuan dan puan tinggal mengeluarkan apa yang sudah ada di dalam pikiran dengan mudah.

Jangan lupakan pula aspek menulis dalam sebuah kompetisi, apapun kompetisinya. Mooting — harus menulis. Legal drafting — harus menulis. Legal opinion — menulis lagi. Karya ilmiah — apa lagi. Menulis akan menguatkan pemahaman penulis terhadap apa yang dituliskan. Apa yang ada di dalam pikiran sekarang akan dituangkan dalam pola yang teratur — kalimat yang bisa dipahami. Di sini kemampuan untuk mengkomunikasikan buah pikiran akan ditempa. Kalau sudah terbiasa, pada saat tes, proses membuat jawaban yang logis bukanlah sebuah proses yang membuat tuan dan puan meragukan diri sendiri. Sudah terasa natural sekarang.

Tapi tunggu. Katakanlah tuan dan puan setuju dengan pikiran di atas. Apakah tuan dan puan otomatis akan mau ikut kompetisi? Bisa jadi tidak. Mengapa? Berkompetisi itu memaksa kita untuk keluar dari zona nyaman. Melakukan pekerjaan tambahan selain kuliah. Menjalani sesuatu yang sulit. Belum tentu menang pula. Siapa yang mau? Well, biasanya yang mau adalah mereka yang sadar pentingnya pengalaman dan proses yang dilalui ketika berkompetisi.

Like it or not, tim HRD perusahaan akan lebih memilih kandidat yang telah menerapkan ilmu yang ia pelajari di kelas di dalam kompetisi. Mengapa? Kandidat itu minimal sudah pernah berlatih menulis dan berlatih presentasi. Agak sulit untuk meyakinkan diri bahwa perusahaan akan memilih kandidat yang hanya belajar di kelas dan bukan kandidat yang sudah berkompetisi.

Mungkin ada benarnya untuk mengatakan bahwa mereka yang ikut kompetisi semasa kuliah adalah kandidat yang tidak takut untuk bekerja keras untuk mendapatkan meningkatkan kualitas mereka. Mereka tidak takut untuk keluar dari zona nyaman dan menghadapi tantangan. Bukankah kandidat demikian yang dicari oleh perusahaan?

Asumsikan pandangan di atas masuk akal dan bisa diterima. Tampaknya pertanyaan yang diajukan sudah sepatutnya berubah menjadi: bagaimana caranya saya bisa menerapkan pengetahuan saya secara konsisten semasa kuliah? Selangkah lebih maju. Selangkah lebih berani untuk menghadapi tantangan. Keluar dari zona nyaman. Percayalah, prinsip ini masih berlaku di setiap fase hidup. Tidak ada perkembangan tanpa pengorbanan. Ini juga berlaku di bangku kuliah.

So, jika tuan dan puan ingin berada dalam posisi lebih baik dari sisi pengetahuan dan kemampuan, tanyakanlah dulu kepada diri: apakah berani untuk bekerja keras untuk berkembang?

Mudah-mudahan bermanfaat. Salam hangat.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Arief Hutahaean
Arief Hutahaean

Written by Arief Hutahaean

Technology lawyer from Indonesia. LLM from Cornell Tech. All the articles are my personal views.

No responses yet

Write a response