Becoming a Lawyer (7) — S2

Arief Hutahaean
5 min readMar 8, 2020

--

Photo by Siora Photography on Unsplash

Kembali belajar lagi setelah sekian lama tenggelam di dunia praktik. Kembali melihat hukum dan pekerjaan dari sisi ideal. Apakah ini adalah keputusan yang baik? Bagaimana menyikapi perasaan ingin S2? Kapan idealnya?

Tone tulisan ini akan lebih santai. Fokusnya adalah memberikan gambaran dan pertimbangan mengambil S2 ketika sudah bekerja cukup lama. Perspektif saya dalam membuat tulisan ini adalah perspektif seorang lawyer yang (sedang) S2 hukum teknologi di Cornell Tech, New York, dan baru S2 setelah lebih dari lima tahun meniti karir sebagai lawyer di sektor teknologi di Indonesia. Pendidikan saya dibiayai oleh LPDP.

Situasional. Realita: Tak semua orang perlu S2 — apa lagi di industri hukum. Kalaupun butuh S2, keputusan untuk S2 adalah keputusan yang situasional. Situasional dalam arti setiap orang akan punya alasan berbeda untuk kembali lagi ke kampus. Tak ada alasan yang benar dan salah. Tak ada waktu yang ideal — by default. Yang lebih penting untuk dipikirkan adalah apakah mengambil S2 di satu waktu adalah hal yang strategis dan memiliki nilai tambah, mengingat kondisi karir saat ini?

Dalam perjalanan karir, gelar master biasanya adalah alat untuk mencapai gol tertentu dalam hidup. Menaikkan jabatan. Meningkatkan kualitas pendidikan. Rehat sejenak dari dunia profesional. Atau merambah ke bidang lain. Untuk itu, memahami dan menilai situasi di lingkungan profesional adalah hal yang penting. Apa hal yang dibutuhkan dalam dunia kerja saat ini? Apakah solusinya adalah S2?

Tak semua kekurangan dalam karir perlu diselesaikan dengan S2. Keahlian yang sangat spesifik, misalkan keahlian dalam pencegahan pencucian uang (anti money laundering (AML)), bisa didapatkan dengan mengikuti program sertifikasi khusus untuk AML. Kadang ada tingkatannya. Kalau bisa mendapatkan sertifikasi di bidang itu, mantap. Nilai dari sertifikat itu bisa tinggi di mata perusahaan yang peduli dengan AML mereka. Tidak perlu S2 untuk mendapatkan keahlian ini.

Semakin mengerti kita tentang apa yang dibutuhkan dalam karir kita, semakin informed kita dalam mencari solusi. Memahami opsi-opsi yang ada, selain S2, untuk bisa mencapai target atau kualifikasi yang kamu inginkan adalah sebuah skill penting dalam hidup. Alasannya adalah S2 akan menyita perhatian, tenaga dan tabungan. Keputusan untuk mengambilnya harus dibuat dengan kesadaran penuh, serta mempertimbangkan biaya dan pemasukan. Tanyakan ini — adakah solusi berbiaya ringan lain dari masalah karir — yang awalnya menurut kita harus selesai dengan S2?

Kalau ada, jangan ragu untuk mempertimbangkannya. Mungkin S2 itu akan lebih pas untuk solusi atas masalah karir yang lain. Ketika S2 adalah solusi yang paling pas untuk masalah tertentu, S2 menjadi lebih bermakna. Kamu jadi tau kenapa S2 dan apa yang akan kamu lakukan setelah S2. Sekolah lagi setelah tiga tahun kerja? Tak salah. Tujuh tahun? Tak salah.

Menantang. Dunia kerja melatih lawyer untuk memiliki perspektif praktis. Kajian ilmiah atau interpretasi yang tumbuh subur di dunia akademis, tapi tak diadopsi oleh kementerian yang membuat kebijakan, tidak akan bernilai banyak ketika menyusun analisis hukum untuk klien. Mengambil gelar master— kembali ke dunia akademis — akan memaksa kita untuk kembali membaca materi-materi akademis dan diskusi dalam tataran demikian.

Ini bukan perkara mudah. Kapan terakhir kali membaca bahan kuliah 50 halaman — satu mata kuliah — untuk kelas selanjutnya? Dalam satu minggu ada tujuh mata kuliah. Pusing juga. Kadang kala S2 lebih demanding dari pada bekerja. Tugas-tugas juga menuntut riset tambahan di luar material yang sudah diberikan. Lumayan banyak brain power yang dikuras. Waktu dan tenaga harus dicurahkan untuk mengikuti pace dunia akademis.

Rehat sejenak dan renungkan — apakah sudah siap memberikan waktu satu, dua atau empat tahun untuk membaca uraian akademis? Andai kata kuliahnya di luar negeri dan full time, apakah rela mengorbankan pendapatan dan pengalaman satu tahun? Kalau kuliahnya di Indonesia dan sambil kerja, apakah rela mengorbankan waktu demi gelar master? Kalau ya, laksanakan. Nikmatilah proses, serta suka dan dukanya. Temukan maknanya.

Kedewasaan. Punya pengalaman kerja substansial akan memperkaya pengalaman S2. Diskusi akan lebih hidup karena isu dan komentar dari mahasiswa akan membahas real issues yang dihadapi di dunia kerja. Ini dengan asumsi bahwa kelasnya aktif berdiskusi. Cakrawala menjadi lebih luas karena ada banyak kepala yang berpikir tentang satu isu. Ditambah lagi dengan kepala dosen yang ahli. Apakah siap menyampaikan ide di hadapan profesional-profesional berpengalaman?

Di sinilah kedewasaan bermain. Seiring umur bertambah, kedewasaan bertambah. Makin banyak hal yang dipikirkan. Makin banyak pula prioritas. Ketika belajar, kedewasaan akan mempengaruhi banyak keputusan belajar karena sudah tau apa yang sebenarnya akan atau tidak akan dipakai di tempat kerja. Apakah masih peduli dengan nilai? Apakah lebih penting membangun koneksi? Bagaimana menyikapi kritik dari orang lain terhadap ide kita? Bagaimana menyampaikan kritik ke orang lain? Sudah bayar uang kuliah, seberapa aktif di kelas kalau begitu?

Pengalaman dan kedewasaan pula yang menolong kita bertahan dalam kondisi sulit. Kadang kala stres bisa datang kapan saja dari berbagai sumber. Cara bertahan dan menghadapinya? Kemampuan yang dipelajari ketika mengelola pekerjaan di kantor — dengan asumsi pekerjaannya memang demanding. Kemampuan ini membantu kita melewati masa-masa yang sangat menantang terkait dengan kesehatan pikiran kita (wellness). Jangan salah, belajar tiap hari, capek dan stres juga.

My case. Saya memutuskan mengambil gelar master (LLM) di Cornell Tech ketika saya sudah berpraktik lebih dari lima tahun sebagai lawyer di law firm dan company. Selama saya bekerja, banyak realita yang memperkuat pemahaman saya tentang karir dan banyak pula yang menentang pemahaman saya. Saya bekerja di lingkungan yang multi-disipliner. Saya bekerja dengan tim bisnis, developer, operasional dan senior management. Perspektif hukum saya tak lagi cukup untuk meniti karir dalam industri teknologi.

Saya harus memiliki mindset bisnis dan teknis (dalam beberapa hal) supaya saya bisa menjalankan peran saya dengan baik. Menjalankan peran dengan baik berarti memiliki kualitas. Memiliki kualitas berarti memiliki kesempatan lebih baik dalam meniti karir di industri teknologi. Bagaimana saya bisa mendapatkan apa yang saya butuhkan? Opsi workshop dan certification bukan solusi yang efektif — buat saya — karena yang saya butuhkan adalah pengetahuan holistik dari seorang businessman. Opsi yang paling efektif untuk bisa memiliki pengetahuan itu adalah S2.

Dengan keputusan itu, tugas selanjutnya adalah memilih program yang saya butuhkan. Mengambil Master of Business Administration (MBA) atau Master of Law (LLM). Dengan berbagai pertimbangan, saya akhirnya memilih LLM di Cornell Tech karena program ini memperbolehkan saya untuk mengambil mata kuliah bisnis dan teknologi jika saya memenuhi syarat. Inilah yang saya sedang lakukan. Belajar bisnis dan teknologi. Tak lagi hanya hukum. Memperluas cakrawala.

Menantang? Pasti. Memasuki teritori ilmu baru adalah proses yang tak nyaman. Butuh adaptasi dan kerja keras untuk bisa mengikuti pace pendidikan di Amerika. Di sini, pengalaman kerja membantu saya melalui kondisi sulit. Dengan pengalaman kerja, perspektif saya menyikapi tekanan dunia pendidikan, jauh berbeda dibandingkan dengan ketika saya masih S1. Mengelola stres dan relationship menjadi lebih manageable. Inilah proses saya ketika S2 setelah beberapa tahun bekerja.

To close, S2 — situasional. Semua tergantung situasi dan kondisi. Tapi yang perlu dipahami juga adalah begitu memulai proses S2, prosesnya menantang dan perlu pengorbanan. Di sinilah kedewasaan dan pengalaman kerja berperan penting untuk melalui prosesnya.

Saya pun merasakan bagaimana pengalaman kerja dan kedewasaan membantu saya bernavigasi di sistem pendidikan Amerika. Inilah nuansa yang hadir di perjalanan saya — S2 lagi ketika sudah bekerja cukup lama. Semoga bisa memberi perspektif baru! Salam.

Tulisan ini adalah bagian dari serangkaian tulisan tentang perjalanan karir di industri hukum — sebagai fintech lawyer dan in-house counsel. If you ever need to chat with me, feel free to say hi at my link below!

Arief Raja Jacob Hutahaean | LinkedIn

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Arief Hutahaean
Arief Hutahaean

Written by Arief Hutahaean

Technology lawyer from Indonesia. LLM from Cornell Tech. All the articles are my personal views.

No responses yet

Write a response