Becoming a Lawyer (3)— Law firm atau Company?
Satu pertanyaan lagi yang sering saya dapatkan ketika bercengkerama dengan mahasiswa setelah mereka bertanya, mana yang lebih baik, kerja pertama kali di law firm besar atau kecil. Lebih baik cari pengalaman di law firm dulu atau di company? Jadi outside counsel atau in-house counsel dulu?
Biasanya saya tanya kembali ke mereka sebelum saya jawab — yang kamu bayangkan dari kerja di law firm dan company apa? Mereka biasanya dengan senyum ringan — sembari agak gugup — menjawab, kerja di law firm biasanya pulang malam , kerjaannya banyak dan stress kak/bang. Kalau di company, pulangnya teng-go, kerjaannya lebih manageable dan lingkungannya lebih santai. Sambil membalas tanya lagi — benar ndak sih bang/kak?
Uraian ini akan membahas pilihan bekerja di law firm atau company berdasarkan pengalaman saya bekerja di dua tempat tersebut. Sebagai konteks, bidang hukum yang saya geluti adalah hukum teknologi, lebih spesifiknya fintech — baik ketika saya masih menjadi outside counsel di law firm dan in-house counsel di company.
Tak ada tempat kerja yang sempurna. Tiap tempat kerja punya suka dan dukanya sendiri. Keputusan yang kamu buat dalam memilih tempat kerja pun harus mempertimbangkan suka dan duka (risk vs reward) itu. Ini berlaku pula untuk memilih law firm atau company sebagai tempat kerja pertama kali. Bagaimana cara mencari tau suka dan duka kerja di satu tempat? Jangan ragu untuk bertanya kepada yang pernah atau sedang bekerja di sana, baik itu lewat email, WhatsApp atau LinkedIn.
Pengalaman lebih bagus mana. Apa yang membuat tempat kerja pertama begitu berarti? Pengalaman. Pengalaman banyak, nilai jual kamu semakin bagus di pasar. Bicara soal pengalaman, opini publik yang saya tangkap seputar law firm atau company adalah pengalaman di law firm lebih banyak dari pengalaman di company. Respon saya biasanya “belum tentu”. Sembari bertanya kembali — apa yang ada di benakmu tentang “pengalaman”?
Dua tempat kerja itu menawarkan pengalaman yang amat berbeda. Bekerja di law firm berarti bekerja di perusahaan jasa yang bisnis utamanya adalah memberi advis atau solusi hukum. Natur pekerjaannya adalah mencari solusi persoalan hukum dan mengelola proyek-proyek hukum yang biasanya diinisiasi oleh tim hukum perusahaan (in-house counsel). Sederhananya, pengalamannya hukum banget.
Bekerja di company berarti bekerja di perusahaan yang fokus utamanya adalah mendapatkan untung dengan model bisnisnya. Tim hukum di company adalah infrastruktur pendukung bisnis. Natur pekerjaannya adalah memberikan nasihat hukum yang sangat spesifik untuk model bisnis perusahaan — dengan memperhatikan risiko bisnis tentunya. Proyek yang dikelola adalah proyek lintas departemen — kadang dengan tim bisnis, teknis atau operasional. Sederhananya, pengalamannya business oriented dan praktis banget.
Sulit untuk mengatakan pengalaman yang satu lebih baik dari yang lain, karena masing-masing menawarkan hal yang berbeda. Ada nuansa yang berbeda di setiap peran, khususnya dalam skills. Outside counsel akan memiliki kesempatan untuk mempertajam analisis hukum transaksi pasar modal dan skill mengelola proyek hukum lintas negara. Karena natur pekerjaannya memang demikian. In-house counsel akan punya pemahaman bisnis yang lebih tajam ketika memberikan opini hukum yang berorientasi bisnis dan skill mengelola proyek dalam tim yang multi-disipliner. Karena begitulah natur kerjanya di company.
Mana yang lebih baik dimiliki pertama kali? Semua kembali ke aspirasi kamu — apa yang kamu senang pelajari dulu? Masing-masing tempat kerja tak akan memberikan paket komplit untuk menguasai semua pengetahuan atau skill hukum. Kemungkinannya adalah kamu harus putar haluan untuk memperdalam skill tertentu, which is fine. Ketika saya putar haluan jadi in-house counsel, saya harus beradaptasi lagi karena, simply, skill set yang dibutuhkan ternyata jauh berbeda dibandingkan di law firm. Kembali belajar lagi.
Gaji besar mana. Opini publik tentang gaji biasanya mengarah kepada, gaji di law firm lebih besar dari company. Untuk beberapa law firm itu benar, khususnya untuk yang besar dan ini berlaku untuk fresh graduate. Tapi tetap ada anomali. Ada saja company yang bisa bayar lebih tinggi dari law firm. Yang perlu kamu pertimbangkan adalah struktur gaji dan bonus. Model law firm biasanya menggunakan 12 x gaji + THR + Bonus. Bonus itu bergantung pada performa kamu dan hal-hal lain yang mempengaruhi performa law firm. Penerimaan bonus itu tak pasti. Model perusahaan bisa beragam, ada yang menawarkan 14 x gaji + bonus. Ada pula yang menawarkan benefit lain seperti kemudahan cicilan dan coverage asuransi yang bagus.
Besar kecil gaji per bulan kadang tak melulu menjadi ukuran untuk menentukan mana yang lebih baik. Lihat lah dari sisi total pendapatan per tahun. Jangan lupa, perhitungkan pula pajak yang kamu harus bayar. Gaji makin besar, pajak juga naik. Pikirkan pula biaya — lokasi, transportasi, tempat tinggal, bensin dan makan — yang kamu keluarkan untuk bekerja. Gaji 10 juta, tapi pengeluaran per bulan 8.4 juta, atau gaji 7 juta tapi pengeluaran 4 juta — pilih mana? Pertimbangkan gaya hidup juga.
Tekanan lebih keras mana. Opini publik — kerja di law firm, kerja bagai kuda. Ada benarnya, khususnya untuk law firm besar, dengan beberapa anomali. Tapi ingat, volume kerja yang tinggi biasanya dibarengi dengan gaji yang lebih tinggi. Dengan catatan, natur pekerjaan law firm yang berbeda. Kerja di company apakah bisa bertekanan tinggi juga? Tentu. Coba bayangkan kerja dengan tim bisnis yang punya mentalitas “pokoknya harus bisa”. Atau kerja dengan tim bisnis yang menganggap tim hukum adalah tim yang buat ribet. Atau kerja di kantor yang banyak masalah hukumnya.
Tekanan pekerjaan itu relatif. Outside counsel yang sudah biasa pulang jam 11 malam, akan menganggap kerja sampai jam 8 malam sebagai sebuah kenikmatan. Tapi tidak bagi in-house counsel. Outside counsel akan menganggap kerja dengan tim non-hukum sebagai sesuatu yang sangat menantang. Tapi tidak buat in-house counsel yang sudah biasa menghadapi tim multi-disipliner. Jangan lupakan pula bos mu. Ada outside counsel yang punya kerjaan banyak, tapi bosnya chill. Ia lebih tenang dalam menghadapi hidupnya. Ada pula in-house counsel yang kerjaannya fleksibel, tapi bosnya demanding. Stress juga.
Fleksibilitas enak mana. Harus diakui, natur pekerjaan di law firm membuat fleksibilitas jam kerja lebih sedikit. Tapi bukan berarti kerja di company akan selalu santai. Ada saja waktu dimana jam kerja tetap digeber untuk menyelesaikan proyek — apalagi mendekati event besar. Masalah fleksibilitas adalah masalah pengorbanan. Apa reward yang kamu bersedia terima untuk mengorbankan fleksibilitas jam kerja kamu?
Harus diakui, keputusan untuk memilih law firm atau company kadang tak semudah yang dibayangkan. Tapi kuncinya satu, cobalah salah satu. Nanti kamu juga tau, seleramu ada di mana. Namanya juga tempat kerja pertama. Tapi ingat, gunakanlah pengalaman bekerja di tempat pertama sepenuh hati. Reputasi harus tetap kamu jaga. Disiplin menjadi kuncinya. Sepenuh hatilah di pekerjaan kecil, niscaya kamu akan dipercaya untuk pekerjaan yang lebih besar.
To close, pengalaman — gaji — tekanan — fleksibilitas adalah sebagian dari hal-hal yang kamu harus pikirkan dalam membuat keputusan untuk memilih law firm atau company. Bagi mahasiswa, hal-hal ini adalah hal-hal yang mereka paling ingin tau. Buatlah pilihan dengan informasi yang cukup (informed decision making). Kenaliah dirimu — kamu mau belajar apa untuk pertama kali? Nanti begitu mulai kerja, cakrawala mu akan terbuka dengan realita di dunia kerja. Semoga bermanfaat! Salam.
Sebagai catatan, ini adalah bagian dari serangkaian tulisan tentang perjalanan karir di industri hukum — sebagai fintech lawyer dan in-house counsel. If you ever need to chat with me, feel free to say hi at my email address below!
Arief Raja Jacob Hutahaean | LinkedIn